Diangkat dari kisah nyata yang dialami oleh penulisnya sendiri,
buku “Laskar Pelangi” menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung
dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitung. Anak
orang-orang ‘kecil’ ini mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh
pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga pendidikan yang
puritan. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola
dan difasilitasi begitu modern pada masanya, SD Muhammadiyah-sekolah
penulis ini, tampak begitu papa dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN
Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para native Belitung ini
tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru
berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang
mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Kesulitan terus menerus
membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas
dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua,
Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang
juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan
dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas
sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan
berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah
mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para
donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok,
ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya,
jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun
terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala
sekolahnya dengan sekian kilo beras-sehingga para guru itu terpaksa
menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul
sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati
demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari
jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena
sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru
muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil
mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke
waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak
marjinal tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai
dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup
ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah
menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua
guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang
murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid
lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan
mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu
memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban
terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar
pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban
mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal,
Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas
mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu
prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.
Tak
ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah
ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus
berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP.
Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi
keluarga sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong
kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus
keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru
disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan
mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal tahun 90-an sekolah
Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa
membiayai diri sendiri tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan
ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam
hati para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena
diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang
menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager
di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini,
ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan
research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat
with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua
itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang
ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin
bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling
Selatan Sumatera sana.
Banyak hal-hal inspiratif yang dimunculkan
buku ini. Buku ini memberikan contoh dan membesarkan hati. Buku ini
memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru, kemiskinan dapat diubah
menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk maju, dan
pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas.
Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan
bahwa pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan
fasilitas. Terakhir cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa
guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa.
Mengapa kupanggil mereka "LASKAR PELANGI"